Laman

Sabtu, 06 Agustus 2011

Debu Hujan Dan Matahari

Sudah cukup lama waktu

persahabatanku dengan Debu,

Hujan dan Matahari.

Mungkin tidak biasa bagi

orang yg tidak mau memilih

cara yang ku pilih ini. Aku mengganggap mereka menjadi

bagian dalam kisah hidup yang

harus khatam pada waktu

yang sudah dibatasi. Pada saat

itu.

Ya! Kami berteman baik, walaupun aku tahu takkan

selamanya. Kontrak

persahabatan akan tetap

berjalan sebelum aku

mengajukan untuk mundur;

sebelum aku merasa keberadaan mereka begitu

menggangguku. Sebelum

mereka menjabat sebagai

produsen profesional pencipta

suasana yang menakutkan,

tidak ku ingin.

Aku mengeluh pada mereka semua. Mengeluh setiap hari sebagai wujud protes. Karena

selama ini terlalu dimanjakan

oleh sikap manis mereka.

Berbagai keluhan terpublikasikan berulang kali.

Lagi, lagi dan lagi.

Aku mulai dikenalkan rasa

bosan pada Debu, Hujan dan

Matahari.

Sahabat baik yang akan ku

remove dari daftar sahabat.

Bermodal beberapa alasan kokoh untuk ku jauhi.



Aku takut Debu.

Teman kecil berkunjung

menanyakan keadaan padaku.

Secepat kilat ku jawab dengan

aksi menutup hidung memakai

tisu putih beraroma teh melati itu.

Merayap menjauh adalah

pilihan tepat untuk

mengacaukan ikat pinggang

persahabatan.

Debu hanya diam melihat ulah penghindaranku. Aku juga

diam, tidak mampu

menjelaskan sebabnya dan

tidak akan pernah menjelaskan

apapun. Aku pikir, diam

adalah kekuatan tercanggih.

Kini, aku terlalu membencinya.



Aku takut Hujan.

Memaksaku menikmati airnya

yang kejam, membiarkanku

dikuasai Raja Dingin. Sensasi

yang tidak ku inginkan. Langit

terlalu murah hati menurunkan yang berlebihan. STOP.

Kemarin aku sering

melubangi, lalu mengisi hujan

dengan tingkat suara 3 oktaf

yang melekat di pita suara ini.

Ketika hujan sangat tepat buat menggelar sebuah konser

tunggal. Aku menikmati

melantunkan lagu ditengah

hujan menghujam tanah

beraspal. Air-air itu memuji,

berteriak dan ikut mengiringi musik dengan gaya mereka,

bahkan, ikut menirukanku

bernyanyi. Tapi, sekarang aku

membencinya.



Aku takut Matahari.

Saat Matahari mulai

dinyalakan diperbatasan

waktu.

Cahayanya di pagi hari berani

membasahi mata, melaju ke retina mataku. Mencuci

tubuhku dengan dekapan

hangat yang khas. Aku suka

caranya mengajak bermain.

Mampu memindahkan embun

nakal yang bertapa dipori-pori kulit.

Aku membalas budi baiknya,

menyatu dengannya di

aktifitas pagi. Tidak ada

masalah dipagi hari.

Oh, tidak! Celaka. Cahaya pagi menjadi terik dalam

hitungan jam.

Saat sahabat menjadi lebih

ganas.

Badanku mulai merasakan

keanehan. Panas. Dan aku membencinya.



"Aku menjauhi mereka

bukan berarti aku tidak

membutuhkan, tapi, mereka

mendekatiku untuk

memberitahu cara menghadapi

keadaan. Mereka ada di hidup saya, tapi bukan berarti untuk

dijadikan sebagai sahabat baik,

bukan?"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar